Seorang teman tiba-tiba bertanya pada saya, "Mbak, obat stress apa ya?"
Sejenak saya termangu diam, bingung, atau lebih tepatnya ragu untuk menjawab. Dalam jeda waktu sekian detik itu saya berpikir, apa obat stress saya?
Jawaban umum yang kemudian terlintas dalam pikiran saya adalah tertawa. Itu yang sering saya baca. Tertawalah, maka anda akan bisa terbebas dari stress. Maka saya nyaris menyarankan agar teman saya banyak membaca cerita humor atau menonton film bertema komedi. Atau bahkan (bila memungkinkan) mengikuti terapi tertawa. Saya segera menyadari itu bukan ide yang brilian. Teman saya tidak terlalu suka membaca dan dia jelas tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama menonton televisi. Lalu tentang saran terapi tertawa, mengalokasikan waktu dan dana untuk mengikuti terapi semacam itu jelas tidak masuk dalam kamus pegawai sekelas buruh seperti kami.
Maka saya pikirkan obat yang lain. Musik. Itu yang terkadang saya butuhkan ketika saya sedang banyak pikiran. Saya memutuhkan musik untuk menenangkan hati dan pikrian. Saya memerlukan musik untuk membantu saya menghilangkan pikiran negatif dan membuai saya ke alam mimpi. Saya memakai musik untuk membangkitkan inspirasi. Saya menggunaka musik sebagai obat stress. Tapi itu adalah saya bukan teman saya. Teman saya itu tidak terlalu gemar musik. Teman saya itu tidak tahu bagaimana musik yang bisa menenangkan jiwa. Teman saya adalah seseorang yang menganggap musik yang bagus adalah musik yang banyak digemari orang dan musik yang aneh adalah musik yang tidak digemari orang. Teman saya tidak pernah setuju dengan pendapat saya yang mengatakan bahwa Vivaldi dan Mozart bisa membawa ketenangan jiwa. Jadi, saya sampai pada kesimpulan musik bukanlah obat yang dia cari.
Ada resep lain yang terkadang saya pakai ketika saya mengalami stress berat. Saya suka ke dapur untuk membuat secangkir cappucino atau mencari cokelat dan biskuit manis di lemari persediaan. Gula dan cokelat bisa jadi obat yang mujarab untuk menjernihkan pikiran ruwet. Tapi obat itu bukan favorit saya. Alasannya sederhana. Saya takut kalap dan semakin berat. Teman saya itu mempunya sifat genetik yang tidak jauh beda dengan saya. Kami sangat responsif dengan gula dan karbohidrat. Jadi saya rasa, saran makanlah yang manis-manis kemungkinan besar hanya akan menambah beban stressnya.
Merasa berhutang atas sebuah jawaban, saya akhirnya balik bertanya, "Stress kenapa?" Maka sesi tanya jawab berubah menjadi sesi curhat. Tiba-tiba saja teman saya mulai berkeluh kesah tentang beban pekerjaan, tentang omelan atasan, tentang ketidak adilan dan tentang lainnya. Sejenak saya kembali termangu. Tiba-tiba saya tersadar beban pekerjaan itu tidak hanya cukup diatasi dengan cerita lucu, musik atau cokelat karena teman saya memang berbeda dengan saya. Masalah dia terlalu kompleks. Saya buntu, tidak tahu harus berkomentar apa.
Maka saya mengatakan sesuatu yang selalu menjadi senjata andalan saya ketika saya merasa buntu dan tidak tahu lagi harus berpikir apa. Di luar dugaan, ternyata teman saya memandang saya dengan lega. Katanya, "Mbak benar. memang itu satu-satunya obat stress yang paling mujarab."
Hanya ada satu jawaban yang bisa kita pikirkan ketika kita sudah tidak tahu lagi harus menjawab apa dan berpaling kemana. Ikhlas, berserah diri dan berdoalah pada Yang Maha Kuasa.
19 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar