“Miss, kemarin aku jalan-jalan ke sawah,”
Pemberitahuan itu disampaikan oleh salah satu murid saya, Sebut saja namanya Steve tadi siang. Sepintas tidak ada yang istimewa dengan pengumuman “pergi ke sawah” itu. Tapi ceritanya jadi lain kalau yang berkata adalah seorang anak kecil yang bersekolah di sekolah swasta elit dengan fasilitas tiga bahasa pengantar, kurikulum standar internasional, bertempat tinggal di real estate paling elit di kota ini, memiliki orang tua yang keduanya pengusaha super sibuk, setiap hari diantar jemput supir dan kemana-mana ditemani pengasuh. Begitulah gambaran sosok seorang Steve kecil.
Tidak heran kegiatan “berjalan-jalan ke sawah” menjadi sebuah pengalaman baru baginya karena dia memang belum pernah melakukannya. Sebagai salah satu program pendidikan tahunan di sekolah Steve, berkunjung ke sawah bukan lagi menjadi kegiatan tidak penting. Porsinya menjadi sejajar dengan acara-acara studi tour atau field trip macam berkunjung ke balai penelitian, museum, institusi-institusi pendidikan dan tempat-tempat edukatif lainnya yang nilainya mampu menunjang nilai akademik siswa.
Steve lalu dengan antusias bercerita betapa menyenangkan berjalan di atas pematang sawah. Ketika saya tanya mengenai kerbau dan Pak tani (gambaran yang entah kenapa selalu diasosiasikan dengan sawah), maka Steve mengiyakan dengan gembira. Dia bilang dia sudah melihat sendiri kerbau dan Pak tani. Dia juga berkata bahwa dia takut naik kerbau. Menurut Steve, setelah puas berkeliling sawah, dia lalu berkumpul bersama teman-teman (beserta pengasuh atau orang tua masing-masing) dan guru-gurunya di sebuah gubuk yang lebar untuk bersantap siang. Entah kenapa saya jadi membayangkan sebuah suasana akrab yang sederhana. Bagi anak-anak yang terbiasa dimanjakan dengan fasilitas lengkap dan permainan modern, atau terbiasa dengan hiburan berduit macam TimeZone, Kidsania, Pameran dinosaurus atau minimal makan-makan di food court mall atau restoran elit bersama keluarga, saya yakin acara makan siang bersama di tengah sawah menjadi sebuah pengalaman yang berkesan.
Saya jadi ingat cerita murid saya yang lain, sebut saja Lia, yang bersekolah di sekolah dasar berstandar internasional lain di kota ini. Dia juga bercerita tentang kegiatan sekolahnya yang tidak kalah unik, yaitu berbelanja ke pasar tradisional. Bersama gurunya, Lia dan kawan-kawan mengadakan studi tour ke pasar tradisional terdekat (lagi-lagi tentu saja bersama pengasuh atau orang tua masing-masing). Masing-masing siswa diwajibkan membeli sayuran dan buah dibawah Rp 5.000,-. Setelah itu bahan-bahan yang dibeli dikumpulkan dan dimasakn bersama untuk makan siang bersama.
Mungkin di kota lain, kegiatan semacam itu bukan hal baru. Tapi informasi dari murid-murid saya itu memberi wawasan baru bagi saya mengenai perkembangan kurikulum dan kegiatan pendidikan Sekolah dasar, khususnya di sekolah-sekolah swasta berstandar internasional, yang belakangan sedang tumbuh subur di sini. Dibandingkan dengan materi pelajaran Sekolah Dasar konservatif yang saya terima ketika saya duduk di bangku SD, kegiatan berkunjung langsung ke sawah atau pasar tradisional terasa jauh lebih menyenangkan untuk dipelajari. Seorang murid yang pernah mengenyam pendidikan Sekolah dasar di Australia bercerita pada saya kalau dia tidak harus membaca dan menghafal banyak buku pelajaran. Kegiatan yang paling sering dia lakukan dalam proses belajar mengajar adalah “membuat sesuatu”, “mengamati sesuatu” dan “bercerita” yang jauh lebih mengasyikan dibanding menghafal.
Memberikan metode-metode pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan memang bukan hal yang mudah. Saya sendiri mengalami masalah-masalah tersebut ketika harus menyampaikan materi-materi saya pada murid-murid saya. Namun bagaimanapun membangun antusiasme dan ketertarikan murid utnuk mempelajari dan memahami suatu materi adalah hal yang penting untuk diupayakan utnuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.
Yang lebih membuat saya salut lagi adalah usaha-usaha sekolah-sekolah elit itu untuk tetap memperkenalkan kepada siswa-siswanya kehidupan dan lingkungan awam di sekitar mereka. Setidaknya dengan begitu diharapkan anak-anak polos itu bisa merasakan sebuah kepedulian social, lebih menyatu dengan lingkungan dan masyarakat. Lega sekali mendengar kisah Steve dan Lia yang sama-sama merasa senang dan gembira dengan kegiatan itu. Anak-anak itu memang polos dan mudah sekali dibentuk. Bagaikan sebuah botol, mereka benar-benar masih memiliki banyak ruang kosong untuk diisi dengan air-air pengetahuan dan nilai moral positif. Menjadi tanggung jawab kita para pendidik dan orang yang lebih dewasa dan mengerti untuk menyediakan isi-isi positif itu.
Sedikit percakapan lanjutan saya dengan Steve berikutnya.
“Steve, kamu suka bahasa Inggris?”
“Nggak terlalu.”
“Paling sebel pelajaran apa?”
“Bahasa indonesia.”
“Paling mudah pelajaran apa?”
“Bahasa Mandarin.”
“Berarti suka bahasa Mandarin?”
“Enggak.”
“Terus sukanya pelajaran apa?”
“Math sama bahasa daerah.”
Betapa saya ingin mencubit pipi Steve yang montok itu karena gemas.
19 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar